Minggu, 26 Juni 2011

Minimalisir Dampak Bencana Gunung Api, Karst Aceh Gunakan Kearifan Lokal Burni Telong

Mon, May 2nd 2011, 09:00
Minimalisir Dampak Bencana Gunung Api
Karst Aceh Gunakan Kearifan Lokal Burni Telong

BANDA ACEH - Meminimalisir dampak letusan yang mungkin terjadi pada Gunung Api Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah, Karst Aceh (sebuah LSM) baru-baru ini menyusun kembali peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Penyusunan didasarkan pada peta KRB Gunung Api yang dikeluarkan Direktorat Vulkanologi Departemen ESDM yang diperbarui dengan penelitian partisipatif yang melibatkan kearifan lokal masyarakat setempat.

“Dari pelibatan masyarakat ini kita ketahui, ternyata ada daerah yang dalam peta Direktorat Vulkanologi masuk KRB I ternyata masuk dalam KRB II,” ucap Direktur Karst Aceh, Abdillah Imron Nasution, kepada Serambi, Sabtu (30/4).

Untuk diketahui, kata dia, klasifikasi KRB terbagi atas KRB I (radius 8 kilometer), KRB II (radius 5 kilometer), dan KRB III (radius 3 kilometer). Dalam peta Direktorat Vulkanologi Departemen ESDM, ada empat kecamatan yang masuk dalam KRB II, yaitu Wih Pesam, Bukit, Timang Gajah, Simpang Tiga Redelong.

“Jadi kalau kita melihat peta yang disusun berdasarkan partisipasi masyarakat ini, wilayah KRB bisa lebih luas lagi,” imbuhnya. Menurut Abdillah Imron, kearifan lokal masyarakat setempat sangat penting dalam menyikapi masalah kebencanaan gunung api, apalagi pemahaman terhadap istilah-istilah kebencanaan sangat rendah.

Abdillah mengungkapkan, dalam kearifan lokal masyarakat setempat, gejala-gejala sebelum letusan gunung api biasanya ditandai dengan ‘wih polak tadoh’ (kolam air panas/sumber air panas mengering) dan ‘benatang turon ke kampong’ (binatang turun ke perkampungan).

“Nah di level inilah menurut kearifan masyarakat setempat dilakukan evakuasi. Mereka tidak mengerti apa itu Siaga I dan Siaga II,” tandas Abdillah. Terkait dengan hal itu, baru-baru ini Karst Aceh melakukan penandatanganan Piagam Komitmen Pengurangan Risiko Bencana bersama Pemerintah Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah.

Penandatanganan piagam komitmen ini lakukan antara Direktur Karst Aceh (Abdillah Imron Nasution), Ketua Forum Komunitas Siaga Bencana Pante Raya (Irwan Khadari), Camat Wih Pesam (Kamluddin AR SE), Danramil Wih Pesam (Kapten Inf Trimo), Kapolsek Wih Pesam (Iptu Hamdani), serta Keuchik Pante Raya (M Kasmi).

Piagam komitmen tersebut berisikan materi pernyataan komitmen pihak-pihak tersebut untuk sepakat bekerja dan berpartisipasi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan tugas dan fungsi masing-masing yang berhubungan dengan pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana Gunung Api Berbasis Komunitas di Kecamatan Wih Pesam.(yos)

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 09 Juni 2011

Warga Pedalaman Kesulitan Layanan Kesehatan

Thu, Apr 14th 2011, 09:35

REDELONG-Masyarakat yang tinggal di sejumlah kampung di kawasan perbatasan antara Kabupaten Bener Meriah dengan Aceh Timur, mulai kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasalnya, sejak berpindahnya status kependudukan warga di daerah itu yang saat ini sebagian besar telah ber-KTP warga Kecamatan Syiah Uatama, Bener Meriah, sejumlah petugas kesehatan yang bertugas di polindes daerah pedalaman itu mulai jarang datang.

Bahkan, menurut pengakuan sejumlah warga, jika masyarakat ingin mendapatkan pelayanan kesehatan diwajibkan untuk menunjukan Kartu Tanda penduduk (KTP).

Hal itu diungkapkan sejumlah warga kepada Serambi, pekan lalu, ketika menyambangi daerah pedalaman itu bersama sejumlah wartawan. Diceritakan, Kepala Kampung Sarah Gele, M Yunus yang didampingi sejumlah warga menuturkan, sejak mulai berpindahnya status kependudukan warga di sejumlah kampung di daerah perbatasan ini ke Kabupaten Bener Meriah, mulai kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Petugas kesehatan yang sebelumnya bertugas di salah satu polindes dari Pemkab Aceh Timur, mulai jarang mengunjungi warga di daerah ini. “Sekarang petugas kesehatan dari Aceh Timur, mulai jarang datang. Kalaupun ada, kami harus menunjukan KTP untuk berobat. Jika warga ber KTP Bener Meriah, kami tidak dilayani dan mereka sarankan untuk berobat ke Bener Meriah. Sementara sampai sekarang petugas kesehatan dari Kabupaten Bener Meriah juga belum masuk ke daerah kami,” ungkap M Yunus.

Ia paparkan, minimnya sarana kesehatan di daerah itu dirasakan warga ketika ada salah satu masyarakat yang sakit keras dan harus dilarikan ke Kabupaten Bener Meriah. Sementara, sebut M Yunus, untuk ke Bener Meriah, membutuhkan perjalanan yang jauh karena harus berputar melintasi Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireuen, baru ke Kabupaten Bener Meriah, lantaran akses jalan ke Kecamatan Syiah Utama, belum dapat ditembus melalui jalan darat. “Sejak pertengahan 2010 lalu kami telah ber-KTP Bener Meriah. Sejak itu kami mulai sulit mendapatkan pelayanan kesehatan,” ungkapnya.

Bukan hanya, sarana kesehatan yang saat ini dirasa sulit didapatkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman itu. Tapi, sarana umum lainnya seperti pendidikan, sarana ibadah yang masih belum layak, jembatan yang menghubungkan antarkampung masih memprihatinkan serta untuk sanitasi air dan MCK juga masih belum ada di daerah itu.

“Untuk air minum, mandi bahkan buang air besar, kami masih memanfaatkan aliran Sungai Jamboe Aye. Untuk itu kami harapkan Pemkab Bener Meriah segera membangun fasilitas umum serta menyediakan tenaga kesehatan yang masih kurang di beberapa kampung di daerah pedalaman ini,” tutur M Yunus.

Selain menyampaikan keluhan karena minimnya fasilitas umum, masyarakat di sejumlah kampung di daerah perbatasan itu, meminta agar hak sosial masyarakat yang selama ini terbaikan segera dipenuhi. Hak-hak tersebut, berupa kontribusi kepada masyarakat dari Trianggle Pase, yang telah belasan tahun mengekspolitasi Sumber Daya Alam (SDA) (sumur gas -red) yang ada di daerah itu.

Keberadaan sumur gas di daerah pedalaman Bener Meriah yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur itu, tidak berdampak kepada masyarakat karena daerah itu masih tetap miskin sampai saat ini.(c35)

Sumber : Serambinews.com